NitrouZ Daily Blog

Kamis, 25 November 2010

MAKALAH RUNTUHNYA ETIKA PROFESI PENEGAK HUKUM KITA





Tugas Penulisan ilmiah


RUNTUHNYA ETIKA PROFESI PENEGAK HUKUM KITA










              NAMA                    : JUNISAR
              STAMBUK            : 209 01 003



PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2010



RUNTUHNYA ETIKA PROFESI PENEGAK HUKUM KITA

Barangkali pemeo "Meski Langit Runtuh, Hukum Akan Tetap Kutegakkan", nyaris tidak berlaku lagi di negeri ini.  Begitu pula gambar "Seorang dewi dengan mata tertutup memegang pedang keadilan" yang sejak dulu menjadi relief yang menempel berdiri tegak pada pada alasan yang tidak masuk akal sehat.
tembok-tembok hokum dinegeri ini,nyariscuma simbol. Faktanya, pedang dewi keadilan menjadi tumpul ditangan para aparat penegak hukum sendiri yang rela "melacurkan hukum"untuk kepentingan segepok duit atau lantaran
untuk sebuah kepentingan yang didasarkan
terungkapnya tujuh hakim "nakal" di Sultra yang diteng­garai terlibat mafia peradilan, lalu menyusul oknum jaksa ber­masalah sebagaimana tudingan Dewan Amanat Rakyat Sultra (Deras) danMasyamkat Pernan­tau Peradilan Indonesia (Map‑pi) Sultra, kemudian yang sangat tragis kejadian beberapa hari lalu, seorang oknum ang­gota kepolisian berpangkat per­wira, yang melakukan penyeka­pan terhadap seorang laki-laki yang dituduh mencuri barang milik pribadinya.
Dasar tuduhan sang perwira, memang di luar logika, is lebih percaya pada ramalan bodoh days bohong seorang paranor­mal. Padahal, logika hukum dart setup yang berpikiran waras, mengajarkan bahwa sebuah tuduhan terhadap seseorang yang terbukti melakukan keja­hatan hanya bisa dilandaskan pada bukti-bukti hukum yang meyakinkan secara formil dan materil, setelah melalui prose­dur pemeriksaan hukum yang baku, berupa penyelidikan dan penyidikan.

Terungkapnya hakim nakal, tudingan jaksa bermasalah, Berta oknum polisi yang berla­gak, seperti preman, sekaligus merupakan gambaran betapa nilai-nilai etika profesi hukum yang mestinya dijuhjung ting­gi para aparat hukum di negeri 'ni, baik ketika menjalankan. bertingkah laku sebagai warga negara yang bernartabat, telah runtuh. Padahal para aparat penegak hukum negeri ini, mulai dari yang berprofesi hakim, jaksa, polisi, sampai pengacara sekalipun, sebelum mendedi­kasikan diri sebagai penegak hukum sesuai tugas pokok dan fungsinyamasing-masing, telah berikrar dengan atas nama kode etik profesinya masing-masing.
Yaitu berbakti menjalankan tugas demi keadilan dar. -kebe­naran. Menurut Pasal 21 Undang­Undang Nomor @$ Tahun 2003 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bah­wa seorang hakim sebelum dilantik memangku jabatan hakim, mesti mengucapkan .sumpah hakim dengan kata­kata... "Demi Allah saya ber­sumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya..."
Begitu pula Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 dalam Pasal 5 menyebut­kan bahwa seseorang sebelum menerima tongkat jabatan jak­sa harus mengucapkan ikrar atau sumpah dengan kata­kata... "Saga bersumpah/ber­janji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksa­ma, dan dengan tidak membe­da-bedakan prang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baikn­ya dan seadil-adilnya seperti. layaknya bagi seorang jaksa yang berbudi luhur dan jujur dalam menegakkan,hukum dan keadilan..." Lain lagi dengan anggota ke­polisian, menurut Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tabun 2002, sumpah seorang polisi yang wajib diikrarkan sebelum bertugas adalah..."bahwa Saya senan­tiasa menjunjung tinggi kehor­matan negara, pemerintah, clan martabat sebagai anggota Ke­polisian Negara Republik Indonesia..."
Pada intinya, negeri ini me­mang telah menyiapkan seper,,, angkat kode etik profesi bagi para penegak hukum, agar mereka dapat menjadi pene­gak hukum yang bermartabat. Tapi jujur saja, semua prinsip kode etik profesi tersebut, ting­gal tulisan-tulisan coati. Ia te­lah runtuh di hadapan arogansi beberapa oknum aparat pene­gak hukum. Ia juga telah lum­puh oleh kerakusan materi dan uang dari sebahagian aparat penegak hukum kita.
Aparat penegak hukum yang tidak bermartabat serta berbuat amoral, menurut ProfessorAch­mad Ali, dapat diibaratkan se­baga i sosok sapu kotor (the di rty sweeps) yang malah menam­bah dekil, kotor, menjijikkan, serta kelamnya penegakan hu­kum kita. Kata Achmad Ali, sosok sapu kotor itu mestinya dienyahkan dalam dunia hu­kum kita. Artinya, para pene­gak hukum bermental breng­sek itu, seharusnya tidak bisa dibiarkan lama, sebab malah menjadi "benalu" yang mem­buat "sakit" penegakan hukum kita semakin kronis.
Lantas ada apa dan mengapa nilai-nilai etik profesi dari para penegak hukum kita, semakin hari menjadikeropos serta nilai­nilai etik profesi itu sendiri telah runfuh dihadapan kepent­ingan materialistik serta prilaku premanisme yang just­eru datang dari para penegak hukum itu sendiri?
Menurut analisiq penulis, dengan berdasar pada pende­katan hukum paling tidak ada tiga faktor: Tertama, kualitas pengetahuan profesi hukum dari aparat pene­gak hukum itu sendiri yang sangat kurang. Pada faktanya, masih terdapat "image" dan cara berpikir sebahagian apar­at penegak hukum yang cuma "gagah-gagahan" menjadi seor­ang penegak hukum. Padahal sumpah jabatan mengharuskan mereka sebagai aparat pene­gak hukum, untuk berdedikasi menegakkan hukum demi keadilan dan kebenaran. An in­ya, hukum tidak boleh ditegak­kan hanya karena berpihak kepada siapa orangnya. Tetapi hukum harus ditegakkan atas dasar egaliterianisme (asas per­samaan), yaitu untuk apa hu­kum itu ditegakkan.
Kedua, terjadi penyalah­gunaan profesi hukum. Pen­yalahgunaan profesi hukum pada faktanya terjadi karena desakan kepentingan para klien yang menginginkan perkaran­ya dipetiskan. (baca agar klien lolos dari jeratan hukum), bi­asanya klien akan mengiming­imingi pemberian hadiah yang sifatnya "haram", konon inilah yang disebut gratifikasi. Atau  bisa juga desakan dari penegak hukum itu sendiri yang mem­inta kepada klien agar perkaranya bisa dipetiskan, dengan mensyaratkan sang klien menyetor upeti segepok uang sogok. Fakta penyalah­gunaan profesi hukum, juga, tampak dari aksi premanisme serta main hakim sendiri seor­ang penegak hukum, semisal kelakuan anggota oknum poli­si yang main pukul serta
menyekap seseorang tanpa se­buah prosedur hukum yang dibenarkan. Ketiga, kontinuitas sistem yang menyanga pilar-pilar ban­gunan kode etik profesi hukum kita yang tampaknya sudah lapuk dan usang. Pada bahagi­an ini, penulis hendak menga­takan bahwa kerapuhan lan­dasan nilai dasar yang cukup fundamental bagi bangunan kode etik profesi kita yang mestinya menjadi perhatian serius. Mungkin semua prang sudah mahfum, kalau landasan penyangga dari nilai-nilai profesi hukum negeri ini telah ter­gadai oleh nilai-nilai material­istik serta ambisi kesenangan hedonistik (ambisi duniawi). Nilai-nilairelij iusitas serta spri­tualisme tampak sudah makin tergusur dan tergeser, yang padahal dulunya sebelum ke­datangan kolonial Belanda menjajah negeri ini, nilai-nilai tersebut telah menjadi nilai­nilai hukum yang hidup (liv­ing law) dalam kultur hukum masyarakat bangsa ini.
Jadi selanjutnya, mencipta­kan aparat penegak hukum yang lebih menjunjung profe­sion.alisme, mestinya negeri dan bangsa ini, tidak boleh lagi memelihara bercokolnya apar­at penegak hukum bermental brengsek,. Mereka tidak hanya melukai nurani warga masyarakat pencari keadilan, namun juga terus-menerus mengangkangi hukum. Sekali lagi, apa jadinya negeri ini ka­lau hanya menjadi sebuah negeri yang merupakan surg­anya para koruptor dan para aparat penegak hukum bermen­tal brengsek?
Nabi Muhammad bersabda "Kehancuran suatu bangsa ad­alah tatkala para pembesamya (terdiri dari kalangan berduit atau penguasa) melakukan pel­anggaran hukum, maka hukum tidak ditegakkan. Namun bila orang-orang lemah di antara mereka (orang-orang miskin yang lemah tidak berdaya) melakukan pelanggaran hu­kum, maka hukum barn dite­gakkan". Mencermaiti:sabde­nabi orang Islam tersebut, bela­jar dari kasus Nenek Minah yang karena lapar terpaksa harus mencuri tiga buah coklat, telah divonis hukum pengadilan lima bulan penjara. Sementara masih ada koruptor yang mema­kan barang haram, dazi mencuri uang rakyat berjuta-juta bah­kan bermilyar-milyar rupiah, masih dibiarkan berkeliaran. Maka apakah itu bisa diramalkan kalau bangsa juga sedang menuju ambang kehancuran? Tuhan saja yang tahu.
Tugas Penulisan ilmiah





Tidak ada komentar:

Posting Komentar